20 Des 2011

TRADISI NYONGKOLAN DAN PENDIDIKAN KARAKTER

Mengutip pendapat dari H. Lalu Lukman di dalam bukunya Tata Budaya Adat Sasak di Lombok mengenai adat istiadat, beliau mengatakan “Timbulnya adat dalam kebudayaan adalah dari kebiasaan sehari-hari. Menjadi tradisi atau teradat serta didukung oleh falsafah yang sangat menguntungkan bagi para penganutnya dalam perkembangannya. Ia mengalami sentuhan dari lingkungan sekitarnya, ditambah lagi masuknya aliran keyakinan, yaitu agama yang mula-mula hanya merupakan pengaruh, tapi kemudian akan menjadi penunjang yang kuat dan akan menjadi sendi adat, yang tidak dapat dipisahkan. Proses yang demikian inilah yang dialami oleh masyarakat sasak didalam perkembangannya.”

Berpijak dari pendapat beliau ini, mengidentifikasi bahwa adat dalam kebudayaan sasak tidak terlepas dari pengaruh agama, khususnya agama Islam yang dianut oleh mayoritas suku sasak. Nilai ajaran Islam dari sejak dulu telah dijadikan pijakan oleh masyarakat suku sasak didalam menjalankan tradisi budaya mereka. Pelaksanaan adat dalam tradisi budaya sasaktidakboleh dipisahkan dari pengaruh agama, atau dengan kata lain adat harus bersendikan agama, adat harus tunjang menunjang dengan agamayang memunculkan falsafah yang sangat dalam yakni, “adat gama” dan “adat krama”. Antara adat gama dan adat krama tidak boleh saling bertolak belakang, harus seiring sejalan, selangkah seayun seiya sekata agar terwujud budaya sasak yang harmonis dan seimbang menuju masyarakat sasak yang religious, maju, dan berbudaya.
Demikian halnya dengan tradisi nyongkolan, pada hakikatnya tradisi nyongkolan dihajatkan untuk menjalankan ruh agama itu sendiri karena dalam kegiatan nyongkolan ada unsur syiar untuk memperkenalkan kedua mempelai kepada kaum kerabat dan para tamu yang hadir, dan dalam kesempatan ini juga kedua mempelai dibawa menemui kedua orang tuanya, sebagai simbul untuk memohon maaf atas perbuatannya yang telahmeninggalkan rumahnya untuk kawin. Tetapi perlu diingat dalam pelaksanaan nyongkolan tersebut dilakukan dengan tertib dan teratur dengan tidak melanggar norma adat dan agama. Inilah hakikat nyongkolan yang dihajatkan oleh tokoh adat, tokoh agama, pemerintah dan masyarakat sasak yang cinta akan budayanya.
Tradisi nyongkolan jika dikaitkan dengan pendidikan karakter maka akan menumbuhkan karakter positif antara lain:
1.  Munculnya karakter untuk ikhlas meminta maaf dan memaafkan. Kita tahu sebelum terjadi pernikahan kedua mempelai pergi diam-diam dari rumah orang tuanya yang terkadang membuat kedua orang tuanya kalang kabut dan kebingungan mencari kemana anak kesayangannya. Tetapi hal tersebut bias terobati dengan tradisi nyongkolan dimana sang anak meminta maaf dan bersimpuh secara langsung kepada kedua orang tuanya, untuk menunjukkan bakti dan rasa hormat kepada kedua orang tuanya.
2. Mempererat tali persaudaraan dan silaturrahmi. Dimana antara keluarga kedua mempelai bias saling kenal satu dengan yang lain sehingga dapat memupuk tali kekeluargaan yang semakin erat antara satu dengan yang lain. Asalnya dari tidak kenal menjadi kenal, jika telah salin kenal maka akan tumbuh rasa saling saying dan rasa saling peduli antara satu dengan yang lain karena telah merasa terikat menjadi satu keluarga besar.
3.   Kebersamaan, dengan adanya tradisi nyongkolan tersebut akan menumbuhkan perasaan saling membantu untuk menyelesaikan prosesi adat nyongkolan yang punya gawe (mempelai laki-laki dan perempuan) dengan ikut mengiring kedua mempelai kerumah mempelai perempuan. Bagi yang lebih mampu juga membawa bermacam-macam usungan yang akan diserahkan kepada pihak keluarga perempuan dan akan dibagi-bagikan kepada sekalian sanak keluarga dan tamu yang hadir.
4.   Kepedulian kepada orang lain, dalam hal nyongkolan dilaksanakan dengan cara tertib, teratur, dan rapi agar tidak mengganggu orang lain. Lebih-lebih jika nyongkolan dilaksanakan dengan jalan kaki secara beriringan. Dengan menerapkan karakter peduli pada orang lain pada saat prosesi nyongkolan maka tidak akan terjadi polemik atau pertikaian. Pendidikan karakter kepedulian kepada orang lain tumbuh dengan adanya kesadaran dari masyarakat pada saat proses nyongkolan diadakan.
Pendidikan karakter bisa ditemukan dalam proses nyongkolan dan dijadikan falsafah budaya sasak jika ajaran positif yang tersirat dari kultur nyongkolan tersebut diresapi, dehayati dan direalisasikan oleh masyarakat sasak. Bukan sekedar dijadikan ritual seremonial dan penyelesaian adat semata. Jika prosesi nyongkolan hanya dijadikan sebagai ritual penyelesaian adat semata, maka ruh pendidikan karakter yang dihajatkan oleh prosesi nyongkolan tersebut hanya akan menyisakan tabi’at yang negative, seperti hura-hura, mabuk-mabukkan, mengganggu ketertiban umum, dan tidak peduli terhadap kepentingan pengguna jalan lain.
Ini sekilas tentang coretan “Tradisi Nyongkolan dan Pendidikan Karakter” yang saya kutip dari berbagai sumber.
Semoga bermanfaat.


Baca juga yang ini:

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan jejak anda disini

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Free Web Hosting