Mengutip
pendapat dari H. Lalu Lukman di dalam bukunya Tata Budaya Adat Sasak di Lombok
mengenai adat istiadat, beliau mengatakan “Timbulnya adat dalam kebudayaan
adalah dari kebiasaan sehari-hari. Menjadi tradisi atau teradat serta didukung
oleh falsafah yang sangat menguntungkan bagi para penganutnya dalam
perkembangannya. Ia mengalami sentuhan dari lingkungan sekitarnya, ditambah
lagi masuknya aliran keyakinan, yaitu agama yang mula-mula hanya merupakan pengaruh,
tapi kemudian akan menjadi penunjang yang kuat dan akan menjadi sendi adat,
yang tidak dapat dipisahkan. Proses yang demikian inilah yang dialami oleh
masyarakat sasak didalam perkembangannya.”
Berpijak
dari pendapat beliau ini, mengidentifikasi bahwa adat dalam kebudayaan sasak
tidak terlepas dari pengaruh agama, khususnya agama Islam yang dianut oleh
mayoritas suku sasak. Nilai ajaran Islam dari sejak dulu telah dijadikan
pijakan oleh masyarakat suku sasak didalam menjalankan tradisi budaya mereka.
Pelaksanaan adat dalam tradisi budaya sasaktidakboleh dipisahkan dari pengaruh
agama, atau dengan kata lain adat harus bersendikan agama, adat harus tunjang
menunjang dengan agamayang memunculkan falsafah yang sangat dalam yakni, “adat
gama” dan “adat krama”. Antara adat gama dan adat krama tidak boleh saling
bertolak belakang, harus seiring sejalan, selangkah seayun seiya sekata agar
terwujud budaya sasak yang harmonis dan seimbang menuju masyarakat sasak yang
religious, maju, dan berbudaya.
Demikian
halnya dengan tradisi nyongkolan, pada hakikatnya tradisi nyongkolan dihajatkan
untuk menjalankan ruh agama itu sendiri karena dalam kegiatan nyongkolan ada
unsur syiar untuk memperkenalkan kedua mempelai kepada kaum kerabat dan para
tamu yang hadir, dan dalam kesempatan ini juga kedua mempelai dibawa menemui
kedua orang tuanya, sebagai simbul untuk memohon maaf atas perbuatannya yang
telahmeninggalkan rumahnya untuk kawin. Tetapi perlu diingat dalam pelaksanaan
nyongkolan tersebut dilakukan dengan tertib dan teratur dengan tidak melanggar
norma adat dan agama. Inilah hakikat nyongkolan yang dihajatkan oleh tokoh
adat, tokoh agama, pemerintah dan masyarakat sasak yang cinta akan budayanya.
Tradisi
nyongkolan jika dikaitkan dengan pendidikan karakter maka akan menumbuhkan
karakter positif antara lain:
1. Munculnya karakter untuk ikhlas
meminta maaf dan memaafkan. Kita tahu sebelum terjadi pernikahan kedua mempelai
pergi diam-diam dari rumah orang tuanya yang terkadang membuat kedua orang
tuanya kalang kabut dan kebingungan mencari kemana anak kesayangannya. Tetapi
hal tersebut bias terobati dengan tradisi nyongkolan dimana sang anak meminta
maaf dan bersimpuh secara langsung kepada kedua orang tuanya, untuk menunjukkan
bakti dan rasa hormat kepada kedua orang tuanya.
2. Mempererat tali persaudaraan dan
silaturrahmi. Dimana antara keluarga kedua mempelai bias saling kenal satu
dengan yang lain sehingga dapat memupuk tali kekeluargaan yang semakin erat
antara satu dengan yang lain. Asalnya dari tidak kenal menjadi kenal, jika
telah salin kenal maka akan tumbuh rasa saling saying dan rasa saling peduli
antara satu dengan yang lain karena telah merasa terikat menjadi satu keluarga
besar.
3.
Kebersamaan, dengan adanya
tradisi nyongkolan tersebut akan menumbuhkan perasaan saling membantu untuk
menyelesaikan prosesi adat nyongkolan yang punya gawe (mempelai laki-laki dan
perempuan) dengan ikut mengiring kedua mempelai kerumah mempelai perempuan.
Bagi yang lebih mampu juga membawa bermacam-macam usungan yang akan diserahkan
kepada pihak keluarga perempuan dan akan dibagi-bagikan kepada sekalian sanak
keluarga dan tamu yang hadir.
4. Kepedulian kepada orang lain,
dalam hal nyongkolan dilaksanakan dengan cara tertib, teratur, dan rapi agar
tidak mengganggu orang lain. Lebih-lebih jika nyongkolan dilaksanakan dengan
jalan kaki secara beriringan. Dengan menerapkan karakter peduli pada orang lain
pada saat prosesi nyongkolan maka tidak akan terjadi polemik atau pertikaian.
Pendidikan karakter kepedulian kepada orang lain tumbuh dengan adanya kesadaran
dari masyarakat pada saat proses nyongkolan diadakan.
Pendidikan
karakter bisa ditemukan dalam proses nyongkolan dan dijadikan falsafah budaya
sasak jika ajaran positif yang tersirat dari kultur nyongkolan tersebut
diresapi, dehayati dan direalisasikan oleh masyarakat sasak. Bukan sekedar
dijadikan ritual seremonial dan penyelesaian adat semata. Jika prosesi
nyongkolan hanya dijadikan sebagai ritual penyelesaian adat semata, maka ruh
pendidikan karakter yang dihajatkan oleh prosesi nyongkolan tersebut hanya akan
menyisakan tabi’at yang negative, seperti hura-hura, mabuk-mabukkan, mengganggu
ketertiban umum, dan tidak peduli terhadap kepentingan pengguna jalan lain.
Ini
sekilas tentang coretan “Tradisi Nyongkolan dan Pendidikan Karakter” yang saya kutip
dari berbagai sumber.
Semoga
bermanfaat.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan jejak anda disini